Thursday, January 13, 2011

Sistem Demokrasi Otoriter ‘Tanpa Soeharto

Tidak ada sistem politik dan pemerintahan manapun yang sempurna, tidak ada teori-teori dalam bidang sosial apapun yang sempurna di dunia untuk memaksakan sebuah sistem yang dapat digunakan sebagai asas tonggak sebuah negara, termasuk sistem monarki,sistem demokrasi ,komunis dan lainnya.  Karena kestabilan dan kedinamisan sebuah sistem tersebut hanya dapat digunakan oleh masing-masing negara yang membutuhkannya dan masing-masing negara tersebut memiliki alasan tersendiri seperti,alasan sosial,budaya,ekonomi dan latar belakang sejarah, dan pemerintahan dalam sebuah negara  mengetahui sistem apa yang diperlukan negaranya dan rakyatnya.

Banyak dari kita yang sudah biasa mendengar kata otoriter yang berasal dari bahasa inggris “Authoritarian”,kata demokrasi yang masing-masing memiliki cerita pahit didalam sistem tersebut. Tidak harus berputar dan bergeming dalam membicarakan sejarah pemimpin otoriter, tidak harus membuka wikipedia untuk tahu makna demokrasi. Dunia telah mengalami perubahan yang cukup signifikan dan mengalami transisi dari sistem politik sebuah negara  yang di pimpin oleh sistem monarki absolut (kerajaan)yang secara otomatis menjadikan sifat seorang pemimpin menjadi pemimpin otoriter, dimana pemusataan kekuasaan hanya terletak pada negara dan pemimpinnya sehingga tidak melihat derajat kebebasan dan hak individu, dan jurang pemisah antara pemimpin dan dipimpin sangat jauh. Penguasaan dalam sistem ini umumnya tidak diperolehi tanpa melalui sistem demokrasi atau pemilihan umum. Tetapi tidak hanya Inggris yang menggunakan sistem ini, beberapa kawasan yang masih belum bersatu menjadi sebuah negara juga menggunakan sistem ini,yang dipimpin oleh seorang raja yang didaulat dan dipercaya mendapat mandat dari Tuhan untuk memimpin rakyatnya. Ini memberi penjelasan kepada kita bahwa sistem Authoritarian bukan sebuah sistem yang diperkenalkan oleh Barat. Tulisan ini tidak akan memberikan dengan sangat detail mengenai perkembangan sistem Authoritarian dan sistem demokrasi di negara Barat, tetapi bagaimana mencoba menggabungkan sistem authoritarian dan sistem demokrasi  karena kita tahu bahwa sistem ini sangat bertolak belakang dan sangat membenci satu dengan yang lain dan untuk  menjadikan sebuah formula baru yang mungkin dapat diaplikasikan di negara-negara berkembang (developing country ) khususnya Indonesia, dan negara-negara miskin atau kurang berkembang (undeveloped country).

Otoriter dan Demokrasi
Indonesia pernah memiliki pemimpin yang otoriter (Soeharto) dan memimpin Indonesia lebih dari 30 tahun lamanya, dan mungkin sebagian kita di Indonesia masih trauma mendengar kata otoriter. Sejumlah orang bergabung kedalam  organisasi Anti-Otoriter selepas keluar dari rezim ini karena sangat membenci gaya kepeimpinan dari sistem ini. Masih banyak saudara-saudara kita yang kehilangan keluarga tanpa diketahui alasannya. Kita juga sempat merasakan pembatasan hak-hak berbicara,mengkritik,berorasi,demontrasi ,berpolitik setiap warga negara, pembunuhan masal bagi setiap warga yang menentang ke otoriterannya,pembatasan media, wartawan dan kebebasan mendirikan sebuah organisasi dan lainnya. Mendasarnya, sistem ini sangat tidak relevan dengan hak dasar kemanusiaan (natural human rights). Karena mekasnisme kebijakan dan pembuatan keputusan hanya diputuskan oleh seorang pemimpin (walaupun kita memiliki lemabaga perwakilan rakyat tetapi itu tidak pernah bekerja efektif pada zamannya),keuntungan pajak,proyek pembangunan langsung masuk ke kas kroni-kroni dan keluarganya. Semakin lama rakyat semakin berkembang, gerakan generasi mudan dan pemikirancrakyat  semakin meluas dan semakin memiliki keberanian untuk menentang sang ‘tangan besi’ untuk mendapatkan sebuah hak kemanusiaan, terjadi demontrasi besar-besaran diberbagai wilayah di Indonesia untuk menjatuhkan rezim soeharto. Pada tahun 1998 kepemimpinan sang tangan besi dan kroninya ‘tumbang!’.  Tetapi apakah dengan tumbangnya rezim tangan besi maka permasalahan Indonesia berakhir???? Tentu saja jawabannya tidak! justru ini menjadi rintangan terbesar negara ini.
Anarki Demokrasi (Transisi)
Mei 1998 BJ Habibie menjadi Presiden menggantikan Soeharto,merubah beberapa kebijakan dalam sektor ekonomi, dan sosial termasuk pembebasan kembali hak-hak sebagai individu yang dulu hilang, hak berbicara, berpendapat, mengkritik pemerintahan untuk transparansi, hak media untuk menyebar dan mendapatkan berita dll. Singkat saja, sekarang semua orang merasa memiliki hak yang sama (equality rights)untuk beraspirasi dan menentang atau menjadi oposisi dari bagian pemerintahan dimana demokrasi mengajarkan hal seperti ini, tetapi adakah standarisasi hak kemanusian?? Tidak. Tidak ada standarisasi untuk hak kemanusiaan, sejauh mana seseorang boleh melakukan hal yang dia inginkan, dan sejauh mana seseorang tidak boleh melakukan hal yang diinginkan. Hak universalisasi yang dimiliki dan disetujui oleh sejumlah negara-negara yang meratifikasikan ini berada di bawah PBB ,yang lebih dikenal sebagai Universal Declaration of Human Rights (UDHR) sejenis perjanjian tentang hak-hak setiap individu dan larangan-larangan yang bersifat umum seperti, pembunuhan, pemerkosaan, deportasi paksa,pemusnahan,perbudakan,penyiksaan,dan lainnya. Tetapi untuk hal yang lebih bersifat khusus seperti hak untuk berunjuk rasa secara anarki adalah diatur dalam undang-undang sesebuah negara sendiri. Karena dampak dari rezim tangan besi rakyat indonesia gemar ‘latah’ melakukan unjuk rasa, apabila kebijakan pemerintah tidak sesuai dengan yang diinginkan maka rakyat meluapkan emosi dengan berunjuk rasa menyuarakan aspirasinya tetapi prioritas pendemo lebih memikirkan sifat emosi dari pada rasio.
Demokrasi yang dibawa oleh sifat emosi menjadikan demokrasi yang anarki yang artinya merusakkan sistem dalam negara sendiri berbentuk fisikal dan non-fisikal. Masyarakat tidak bisa dikontrol dan dikenakan sanksi untuk perbuatan unjuk rasa yang anarki. Logikanya,apabila pihak berwajib menahan atau menembak orang yang berdemo,maka ini akan mengembalikan mimpi buruk yang pernah ada pada zaman tangan besi. Dalam praktek demokrasi masyarakat memiliki hak yang mungkin dianggap lebih tinggi dari pemerintah sebagai instrumen untuk membiarkan transparansi pemerintahan , sehingga kedudukan ini menyebabkan dilema kepada pemerintah sendiri apabila mereka tidak bekerja dengan baik. Seharusnya ini akan menjadi lebih baik untuk perkembangan negara, tetapi malah sebaliknya, di era inilah orang-orang yang sedang berada di pemerintahan menggunakan kekuasaannya untuk mendapatkan dan memenuhi kepentingan pribadinya yang dulu terkekang. Korupsi adalah penyakitnya!, korupsi pada era soeharto dilakukan oleh kroni-kroni dan nepotisme berbagai macam proyek yang keuntungannya langsung masuk kedalam dompet sang anak ataupun dompet keluarga mereka. Tetapi di era reformasi sekarang, penyakit ini semakin meluas dan tersebar tidak hanya dalam lingkungan kroni-kroni pemimpin saja,tetapi mencakup segala aspek pemerintahan. Kepercayaan masyarakat semakin berkurang kepada pemerintah, kembali lagi terjadi aksi-aksi demontrasi yang bersifat anarki, perusakan kantor-kantor, sampai kejadian yang terbaru adalah tewasnya Ketua DPRD Sumatera Utara atas yang disebabkan oleh sebuah kejadian demontrasi tersebut walaupun perkaranya bukan menyangkut tentang korupsi. Kesimpulannya hak kebebasan yang berlebihan atau hak kemanusiaan yang diberikan kepada rakyat, akan sangat fatal akibatnya apabila pemerintah tidak bisa memberikan jaminan kesejahteraan baik dalam bidang ekonomi, sosial dan keamanan kepada rakyat.

‘Old story in the new book’
(Auhtorian Demokrasi)
Terkadang kita merindukan sosok sang tangan besi dengan ke otoriterannya memimpin bangsa ini. Terkadang banyak orang membandingkan dan mendebatkan, apakah pantas negara dengan rakyat yang belum memiliki kestabilan emosi,kestabilan komunitas dan sifat anarki yang sedang merajai ini dibubuhi nilai-nilai demokrasi barat? Belum. Kita masih harus perlu pemimpin yang otoriter yang dapat mengarahkan kita agar menjadi sipil yang stabil, berfikir tentang komunitas sosial dan kepentingan bersama mengikut teori ‘communitarism’. Tetapi bagaimana cara memiliki pemimpin yang otoriter dalam sistem demokrasi? Sama saja mengulang mimpi buruk yang pernah terjadi. Setiap sistem memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, sebuah sistem dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan tempat (wilayah) dan kebutuhannya dan seiring kedinamisan sebuah pemerintahan didalamnya. Authoritarian sebenarnya adalah sistem yang baik, yang dapat mengarahkan masyarakat menjadi masyarakat sosialis dan tunduk kepada pemerintah. Tetapi alangkah baiknya apabila sistem ini kita bubuhi sifat-sifat demokrasi seperti hak kebebasan yang diatur dalam undang-undang yang kokoh. Memang akan susah menyatukan 2 sistem yang berbeda dan bertolak belakang ini menjadi satu formula. Sebenarnya yang dilakukan soeharto sudah benar, dengan sistem pemimpin yang otoriter tetapi sistem pemerintahan demokrasi, tetapi kesalahan soeharto adalah ketika ia mengetepikan hak-hak setiap individu seperti beraksi dan bersosialisasi, penggunaan uang untuk kepentingan keluarga dan kroni dan meninggalkan hutang sekitar Rp.1800 triliun yang akan harus dibayar sampai generasi berikut-berikutnya. Inilah yang menyebabkan adanya tekanan yang tidak dapat terbendung oleh masyarakat yang menghasilkan sebuah reformasi yang membawa ke arah anarki yang perlahan dapat menghancurkan bangsa sendiri. Apalbila sistem otoriter dan demokrasi disatukan maka aspek otoriter demokrasi  harus memiliki pondasi untuk lebih mengutamakan kepentingan rakyat seperti kesejahteraan dan lainnya, bersifat tegas terhadap tindakan anarki tetapi tidak dengan hukuman mati (atau yang seperti dilakukan soeharto), Jaminan hak asasi manusia, kontrol terhadap media dan memberikan batasan yang sesuai (tidak seperti yang dilakukan soeharto terhadap hak kebebasan media dan wartawan), aspek umum yang mendasar lainnya adalah  pluralisme sosial, ekonomi, dan politik ,nilai-nilai tolerensi, pragmatisme, Pemilihan yang bebas dan jujur. Karena bagaimanapun bagaiman membuat agar rakyat kembali menghargai pemimpinnya dan tidak merendahkan pemimpinnya seperti yang dilakukan para demonstran di era sekarang ini.

(By: OK M. Fajar Ikhsan, BA, M.Sc)


















0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger